| Ilustrasi relawan yang membawa bantuan |
KUTA BLANG – Sejumlah relawan meluapkan keluhan terkait mahalnya biaya penyeberangan dan pungutan harlan di jalur alternatif Kuta Blang, Bireuen. Pungutan tersebut dinilai mencekik leher dan memberatkan proses pengiriman bantuan untuk korban banjir dan longsor di Aceh.
“Ini benar-benar berat bagi kami. Harga yang dipatok lebih mahal dari bantuan yang kami bawa,” ujar Surya Darma (22), salah seorang relawan, Rabu 10 Desember 2025.
Dikutip dari Atjehwatch.com (10/12/2025) Surya membawa satu mobil pikap berisi mie instan, beras, dan pakaian untuk pengungsi di Geurugok dan Aceh Utara. Namun sesampainya di Kuta Blang—satu-satunya jalur penyeberangan setelah jembatan roboh—ia diminta membayar total Rp1,4 juta untuk menyeberang. Biaya tersebut meliputi Rp600 ribu untuk harlan sisi kanan, Rp400 ribu ongkos boat, serta Rp300 ribu harlan sisi kiri.
“Kami bahkan tidak boleh mengangkat sendiri barang ke boat. Semua harus lewat harlan. Padahal jaraknya cuma sekitar 150 meter,” keluh Surya.
Keluhan serupa disampaikan Muhammad Adam, relawan lainnya. Ia mengaku pernah dipatok hingga Rp3 juta untuk sekali seberang. “Kami sempat mau viralkan. Tapi melihat kondisi bencana, kami tahan diri. Namun ini sudah keterlaluan,” ujarnya.
Menurut Adam, tarif resmi boat hanya berkisar Rp400–500 ribu sekali menyeberang. Lonjakan biaya terjadi akibat pungutan tambahan dari para harlan yang berdiri di kedua sisi sungai dan memonopoli proses angkut barang.
Relawan lain, Nurul Fajri, menilai praktik ini mencederai semangat kemanusiaan. “Kami datang membawa bantuan dari donatur. Tidak ada anggaran untuk pungutan sebesar itu. Ini mencekik,” katanya.
Sejumlah warga, termasuk Yuslinda (34), menilai pemerintah daerah telah berulang kali menerima laporan, namun belum ada langkah nyata. “Pemkab dan aparat seperti tutup mata. Sementara relawan dan warga semakin tertekan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, tarif penyeberangan di Kuta Blang disebut masih bertahan pada angka yang sama. Di tengah musibah yang merenggut banyak hal, relawan menilai empati di daerah itu seakan ikut tenggelam bersama banjir yang belum sepenuhnya surut.