Relawan Menangis, Tarif Penyeberangan Bantuan di Kutablang Tembus Rp9 Juta?

ongkos penyeberangan jembatan kutablang
Jembatan Kuta Blang 

Di banyak tempat, bencana seringkali melahirkan solidaritas. Namun di Kutablang, Bireuen, kisahnya berbeda. Di tengah banjir yang belum juga surut, ada sesuatu yang justru lebih menyakitkan tenggelam—empati manusia.

Mun, seorang relawan kemanusiaan yang telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya menghadapi konflik dan derita masyarakat Aceh, datang membawa bantuan bersama dua rekannya. Mereka menempuh perjalanan panjang, membagikan beras, mi instan, dan air mineral kepada warga yang menunggu di pinggir jalan. Harapan mereka sederhana: bantuan ini bisa segera tiba di seberang sungai, tempat ratusan keluarga terisolasi bencana.

Namun ketika tiba di penyeberangan darurat Kutablang, Mun dihadapkan pada kenyataan yang mengguncang hatinya. Ongkos yang diminta untuk menyeberangkan bantuan mencapai jutaan rupiah. Rp2 juta untuk bongkar, Rp5 juta untuk menyeberang, dan Rp2 juta untuk bongkar-muat di seberang. Total Rp9 juta—angka yang tak masuk akal bagi seorang relawan yang membawa bantuan, bukan dagangan.

Di hadapan tarif yang melambung itu, Mun tak mampu menahan air mata. Ia memohon, merendahkan suara, meminta belas kasihan. Namun tak ada tangan yang terulur. Tak ada wajah yang melunak. Di tengah bencana, ketika manusia semestinya saling menggenggam, ia justru menemukan dinginnya kepentingan.

Mun mengaku baru kali ini merasakan kemanusiaan seolah lenyap dari hati sebagian orang. “Di masa konflik pun, saat peluru berseliweran, orang masih punya belas kasihan,” ucapnya terbata-bata. “Tapi hari ini… tidak.”

Mun bukan satu-satunya. Relawan lain, Agus Fernanda, menuliskan pengalamannya di media sosial setelah diminta membayar jutaan rupiah hanya untuk menyeberangkan bantuan. Keluhannya memantik banyak kesaksian serupa: bahwa bantuan untuk korban banjir berubah menjadi ladang keuntungan bagi oknum penyedia jasa penyeberangan dan kuli angkut.

Bahkan Camat Kutablang, Erizal, turut menjadi korban pungutan tidak wajar. Ia mengaku menghabiskan Rp6 juta hanya untuk membawa bantuan pemerintah ke lokasi terdampak. Imbauan dan tegurannya tak digubris; diam menjadi jawaban sehari-hari.

Di tengah gelombang kekecewaan itu, muncul secercah cahaya. Pemerintah daerah bersama aparat keamanan menyediakan boat karet gratis untuk menyeberangkan warga dan barang. Namun upaya itu belum cukup menghapus pahitnya peristiwa di penyeberangan darurat tersebut.

Banjir memang merendam rumah dan jalan. Tapi bagi banyak relawan, yang lebih menyakitkan adalah menyaksikan empati tenggelam lebih dalam daripada air sungai. Di saat bencana seharusnya menyatukan, sebagian justru memecah dengan mengambil keuntungan dari luka orang lain.

Kutablang bukan sekadar cerita tentang banjir. Ia adalah cermin—cermin yang membuat kita bertanya:

Apakah kemanusiaan kita masih utuh, atau ikut hanyut bersama arus?